lailaberbagicerita

"Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim." (Tiada daya & kekuatan kecuali dengan pertolongan ALLAH Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)"

Belajar Mencintai

Dakwatuna.com – Tidak banyak orang yang belum mencinta pasangannya ketika menikah. Apalagi di zaman modern ini. Kebanyakan mereka sudah berhubungan beberapa lama dan cinta -lah yang memotivasi keduanya untuk melanjuntkan ke jenjang rumah tangga.

Maka aku termasuk orang yang sedikit itu. Orang modern namun terlibat dalam romantisme zaman dahulu. Istriku yang sekarang adalah orang yang baru ku kenal ketika aku memutuskan untuk melamarnya langsung kepada ayahnya. Tentu ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama judulnya, bukan pula terkena pelet dari si dara. Ini cuma masalah metode. Dan aku memilih metode ini. Aku cari, aku selidiki, aku datangi, aku pagari. vini vidi vici. Merdeka!!!! Penuh semangat 45. he he …

Bahkan calon mertua takajuik dua2-nya, ketika aku yang baru mereka kenal berterus terang untuk meminang. Sungguh sesuatu yang langka untuk zaman sekarang.

Namun… hati memang urusan Allah. Sebagaimana Allah menanamkan kecenderungan pada hatiku untuk kemudian memilih, begitu pula Allah menanamkan kecenderungan pada si dara dan orang tua -nya untuk menerima. Banyak yang komplain memang, tidak sedikit pula yang mempertanyakan. “Baru kenal kok sudah lamar, ih.. nakal.” Atau “Baru tau kok sudah mau, ih.. lucu” Dan sebagainya dan sebagainya. Sebagian bertanya tentang siapa aku. Tetapi kebanyakan meragukan kecocokan karena tak ada cinta yang jadi landasan.

What about me? Am i sure with my choice? Am i sure i can love her?

Begitulah, bahkan aku tak tau berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mendatangkan cinta di hati yang dalam. yang kupikirkan hanyalah komitmen. Ya.. komitmen, karena buku telah kuteken maka aku harus konsisten. Karena aku telah memilih maka aku harus melatih.

Melatih untuk mencinta, melatih untuk dicinta. Dan semua turunannya. Belajar untuk menerima, mendengar, berbagi, peduli, berkorban, merindu, mengharap, bertengkar, berdamai, bertengkar lagi (he he..). Dan variabel-variabel lain yang dibutuhkan agar konstanta cinta -pun menjadi datang.

Dan… hati memang urusan Allah. Maka aku -pun menjadi lelaki yang mulai mencintai perempuan yang kuperistri. Seperti menyaksikan bibit yang di tanam, “ternyata ia tumbuh”. Kecenderungan yang kuat. Seolah2 terlihat di depan mata. Semakin jelas dan semakin nyata. Kucintai ia.. atas kecantikannya, kebaikannya, pengabdiannya, dan karena cintanya.

Lalu aku kemudian tersadar, bahwa di sinilah awal masalah berakar. Yang dialami oleh setiap pasangan yang berikrar, bahwa mempertahankan cinta adalah jauh lebih sukar. Hati manusia bolak balik, perasaan turun naik, tumbuh dan layu. Di alami oleh semua pasangan, baik yang mengawali rumah tangga dengan cinta mendalam atau cinta yang baru diniatkan.

Maka hati memang benar2 urusan Allah. Sebagaimana Allah mendatangkan cinta Allah pula yang kuasa menjaga dan mencabutnya. Karena itulah, maka aku -pun harus berurusan dengan-Nya (he he). Aku melihat, memahami dan menyadari bahwa aku harus melatih mencinta, melatih semakin mencinta dan melatih tetap mencinta. Dan ini benar2.. memerlukan energi yang besar, karena aku harus mencinta.. hingga akhir usia.

Maka aku memohon kepada Allah, pemilik urusan hati, agar aku tetap mencintai..

Hingga Dia memutuskan urusan-Nya atas kami..

Tinggalkan komentar »

Menantu Dengan Mertua

Ada ungkapan bahwa pernikahan tidak hanya menyatukan sepasang suami istri semata, lebih dari itu dua keluarga. “Jika kamu menikah kelak, kamu tidak hanya menikah dengan suamimu, tapi juga dengan keluarganya, bapak dan ibunya.” Ungkapan ini ada benarnya, karena bagaimana pun keluarga suami atau istri merupakan akar di mana suami atau istri berasal darinya, tidak mungkin seseorang lepas dari akar yang menumbuhkannya selama ini begitu saja.

Sebenarnya hubungan menantu dengan mertua sama dengan hubungan-hubungan lainnya, antara seorang muslim dengan muslim lainnya, atau seorang muslimah dengan muslimah lainnya, lebihnya dalam hubungan ini adalah adanya jalinan mushaharah yang merupakan akibat dari ikatan pernikahan yang terjadi antara Anda dengan anaknya. Maka aturan main yang berlaku dalam hubungan di antara sesama muslim juga berlaku dalam hubungan antara menantu dengan mertua. Saling mengasihi, menyintai, bersikap tulus, menasihati dengan cara yang ma’ruf, tidak menzhalimi, tidak mendustai, tidak menipu, tidak membicarakan aibnya dan adab-adab lain berlaku dalam hubungan antara sesama muslim.

Jika pernikahan mengambil jalan yang benar dan lurus, maka persoalan hubungan menantu dengan mertua bukan merupakan perkara yang perlu dirisaukan atau dikhawatirkan, ia akan berjalan lancar, mencair, pure layaknya hubungan sesama muslim yang tulus dengan muslim yang lain di mana sebelum keduanya terikat oleh jalinan mushaharah, keduanya telah terjalin oleh hubungan persaudaraan karena Allah, kalaupun ada sedikit intrik maka wajar dan lumrah, bukan merupakan batu sandungan yang berarti.

Di antara faktor pemicu disharmonis hubungan menantu dengan mertua:

1- Pernikahan berlangsung sementara mertua tidak merestui, artinya laki-laki atau wanita yang menjadi pasangan hidup anaknya bukan orang yang diharapkan dengan berbagai alasan yang ada pada diri mertua, bisa karena menantu dianggap kurang baik sehingga dia tidak pantas menjadi menantunya atau mertua sebelumnya sudah mempunyai pilihan sendiri tetapi anaknya ngotot dengan pilihannya sendiri sehingga ibu atau bapak terpaksa mengalah dan selanjutnya tetap tidak lego-lilo (bahasa jawa yang artinya menerima dengan hati yang lapang) atau alasan-alasan lain yang menurut pandangan mertua adalah sebuah prinsip kebenaran yang wajib dipegang.

Faktor ini bisa di atasi dengan mengadakan dialog atau musyawarah dari anak yang akan menikah dengan bapak atau ibunya, dalam musyawarah ini anak memposisikan diri sebagai anak, menghargai bapak ibu dengan jasa mereka yang besar selama ini, mendengar kata-kata dan nasihat keduanya dengan baik, jika memang harus menjawab atau menanggapi, maka anak menanggapi dengan kata-kata dan bahasa santun, lembut yang mengisyaratkan rasa hormat dan sayang kepada keduanya, jika titik temu belum juga didapat maka anak hendaknya bersabar atau mencoba mempertimbangkan pendapat orang tua sekali pun ia tidak disukainya, ingat terkadang kebaikan tersimpan di balik apa yang justru kita benci.

2- Perbedaan zaman di antara keduanya yang diikuti dengan perbedaan cara pandang dan kebiasaan di antara keduanya. Mertua adalah generasi di zamannya, sedangkan menantu adalah generasi di zamannya, sudah barang tentu zaman keduanya dengan segala hal dan faktor yang mengiringinya tidaklah sama, perbedaan itu pasti ada. Bisa jadi mertua cenderung memegang agat kebiasaan turun temurun terkait dengan rumah tangga, harus begini atau harus begitu dan seterusnya, tidak demikian halnya dengan menantu, dia mungkin cenderung lepas dari semua itu, kalau tidak memiliki dasar dari agama, mengapa harus demikian, begitu pikir menantu. Atau bisa jadi mertua mempunyai kebiasaan tertentu dan menantu mempunyai kebiasaan lain yang berbeda, hal ini juga bisa memicu konflik antara keduanya.

Solusinya adalah mengenali masing-masing, pahami apa yang menjadi kebiasaannya dan kemauannya, selanjutnya –selama ia masih dalam standar kebolehan- menantu sesekali mengalah karena dia yang lebih muda demi kebaikan bersama. Di sini diperlukan pengertian dan pemahaman dan bijak.

3- Dua cinta, maksud penulis menantu dengan mertua menyintai orang yang sama, sekali pun model cinta keduanya berbeda, mertua menyintainya sebagai anak, sedangkan istri atau suami menyintainya sebagai pasangan hidup dan ibu atau bapak bagi anak-anaknya, tetapi sasaran dan obyek cinta kedua adalah satu, ini yang sering memicu persaingan, kedua belah pihak memperebutkan pepesan yang yang sama, sehingga acapkali muncul intrik persinggungan dan tarik ulur kepentingan yang jika tidak disikapi dengan bijak bisa membesar perosalannya. Mertua melihat kepada anak sebagai anaknya yang selama ini dia besarkan dan dia didik, mertua berpandangan dirinya masih berhak untuk ini dan itu terhadap anaknya, sebagai wujud cintanya kepada anak. Sementara istri atau suami berpandangan bahwa anak ini adalah pasangan hidupnya, dia telah berumah tangga dengan dirinya dan hal ini secara otomatis menjadikan statusnya sebagai suami atau istri lebih dekat daripada sebagai anak.

Apa pun pandangan mertua dengan menantu dalam hal ini, kenyataan membuktikan bahwa orang yang menjadi obyek cinta mereka berdua berada dalam dua ikatan tarik ulur yang mesti dia seimbangkan, orang tua dan istri atau suami, dia tidak bisa melepaskan salah satu dari keduanya, dari sini yang diperlukan adalah pengertian dari kedua belah pihak yang menyintai orang yang sama tersebut, mengetahui batas-batas wilayah cinta masing-masing sehingga satu wilayah tidak mengekspansi wilayah orang lain, karena pemilik wilayah yang diekspansi akan marah dalam kondisi ini. Mertua menyadari bahwa anaknya saat inia dalam suami atau istri bagi menantunya atau ayah atau ibu bagi anak-anaknya. Menantu menyadari bahwa pasangannya, bagaimana pun juga, merupakan seorang anak yang mempunyai ibu dan ayah sebelum dia menikah dan sesudah dia menikah dengan dirinya. Jika kesadaran ini diterapkan maka hubungan baik antara menantu dengan mertua sangat berpeluang membaik dan menjadi harmonis.

4- Dua kekhawatiran, mertua khawatir menantu akan mendominasi dan menguasai anaknya, menantu khawatir mertuanya akan mendominasi dan menguasai pasangan hidupnya, mertua khawatir anaknya akan melupakannya karena pengaruh pasangannya, menantu khawatir suami lebih condong kepada orang tuanya dan melupakan dirinya, mertua khawatir anaknya meninggalkannya karena telah mendapatkan kesenangan baru, menantu khawatir pasangannya tidak bisa terlepas dari orang tuanya, masih anak mami. Dua kekhawatiran dari dua pihak yang berada di dua seberang di mana tengah-tengahnya adalah suami atau istri. Dua kekhawatiran yang saling tarik ulur, berebut kepentingan dan terfokus kepada satu sasaran.

Bukan masalah yang berarti jika ia hanya sebatas kekhawatiran, wajar jika seseorang khawatir terhadap sesuatu selama ia hanya bukan sesuatu yang mengada-ada, solusinya adalah tahu diri, mertua tidak perlu khawatir berlebih, menantu tidak perlu khawatir berlebih, karena faktanya mereka berdua memang sama-sama memiliki barang yang satu dengan kepemilikan yang tidak seratus persen, kepemilikan di mana di dalamnya terdapat kepemilikan orang lain, maka berbagi, toleransi, tenggang rasa, menahan diri, mengenal batas dan itsar sangat membantu dalam hal ini sehingga terjalin hubungan yang baik lagi mulia. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi) al-sofwah.or.id

 

Setiap keluarga mempunyai kebiasaan yang berbeda-berbeda, sebuah realita yang kudu dipahami oleh setiap pasangan suami istri. Suami dari keluarga dengan kebiasaannya dan istri dari keluarga dengan kebiasaannya. Kemungkinan perbedaan ini makin lebar manakala perkawinan terjadi antara kabilah atau suku, antar negara, antar ras dan bangsa. Namun hal seperti ini bukan hantu yang menakutkan atau momok dan menyeramkan. Sangat bisa diatasi, sangat mungkin ditanggulangi. Kuncinya adalah pengertian dan pemahaman. Ada yang membahasakannya dengan komunikasi. Upaya dan proses menjalin dan merajut kesepahaman dan mensinergikan perbedaan sehingga dalam batas-batas tertentu bisa disatukan dan diakomodir.

Ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan oleh istri atau suami agar hubungannya dengan mertua menjadi baik, di antaranya:

1- Menyadari bahwa suami atau istri adalah anak ibunya. Maka wajar jika suami atau istri menyayangi ibunya, ingin membahagiakan ibunya, ingin berbuat sesuatu untuk ibunya, dan semuanya adalah baik, ia merupakan ungkapan bakti anak kepada ibu. Selama kebaikan suami atau istri kepada ibunya tidak membuatnya melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai suami atau istri, maka Anda sebagai suami atau istri tidak perlu risau atau gusar. Bersikaplah dewasa, matang lagi arif. Anda harus mengerti bahwa suami atau istri Anda, sekali pun dia adalah suami atau istri Anda, dia tetaplah anak mertua yang tidak mungkin terlepas darinya hanya karena menjadi suami atau istri bagi Anda.

2- Memberi perhatian dan kebaikan. Bisa lewat hadiah, bisa lewat halo apa kabar melalui HP atau telepon, bisa melalu kunjungan rutin bulanan atau dua bulanan atau kondisional. Siapa pun mengetahui betapa besar pengaruh perhatian dan kebaikan untuk meluluhkan hati seseorang. Wa ahsin ilan nasi tasta’bid qulubahum, berbuat baiklah kepada manusia niscaya kamu bisa mengambil hati mereka. Penulis yakin jika Anda sebagai menantu melakukan hal ini secara tulus niscaya hubungan Anda dengan mertua akan menjadi akrab dan bersahabat.

3- Tidak membalas kesalahan mertua. Taruhlah mertua Anda bersikap kurang bersahabat, berlaku kurang menyenangkan, hadapi dengan tidak terlalu memikirkannya, lebih-lebih membalasnya dengan sikap dan prilaku yang sama, tidak perlu karena hal itu semakin menambah benang menjadi kusut dan lumpur semakin basah, yang perlu Anda lakukan adalah introspeksi, barangkali memang ada sesuatu pada diri Anda yang membuat mertua demikian, taruhlah tidak ada, yang Anda perlukan adalah membalas sikap dan tindakannya itu dengan sebaliknya, jika dia bersikap kurang bersahabat maka balaslah sikapnya itu dengan sikap yang sangat bersahabat, jika dia berlaku kurang menyenangkan maka balaslah sikapnya itu dengan sikap yang sangat menyenangkan. Mertua bukan musuh yang berhak diperlakukan sebanding dengan tindakannya. Jangankan mertua yang bukan musuh, musuh saja jika kita perlakukan dengan baik, sekali pun dia telah bersikap tidak baik kepada kita, dia bisa menjadi kawan yang akrab. “Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34).

4- Memposisikan mertua layaknya orang tua sendiri. Dengan demikian maka akan timbul upaya berbaik-baik dalam arti yang baik dengannya. Sebagaimana hubungan Anda dengan orang tua sendiri adalah baik, lalu mengapa hubungan Anda dengan mertua menjadi tidak baik, padahal Anda sudah menganggapnya layaknya orang tua sendiri. Hal ini tentu memacu usaha dan mendorong upaya dari Anda untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan hubungan dengan mertua.

Peran Suami atau Istri

Cukup sentral karena suami atau istri adalah penengah, jembatan, wasit antara Anda dengan mertua, melalu dia Anda bisa mengetahui banyak hal tentang mertua yang selanjutnya membantu Anda dalam berkomunikasi dengan mertua, melalu dia mertua mengetahui banyak hal tentang Anda yang selanjutnya membantunya dalam berkomunikasi dengan Anda. Melalu dia Anda bisa menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan kepada mertua di mana Anda tidak berani menyampaikannya secara langsung. Melalui dia Anda mendengar kritik dari mertua di mana mertua merasa tidak pas jika menyampaikannya secara langsung kepada Anda. Dari sini diharapkan suami atau istri bisa menjadi jembatan penghubung di antara pasangannya dengan mertuanya. Jika yang bersangkutan menunaikan misi kurir ini dengan baik, maka hubungan Anda dengan mertua ma fi musykilah, no problem. Semoga.
(Izzudin Karimi) al-sofwah.or.id

Tinggalkan komentar »